my city identity

April 12, 2011

Masihkah Lestari Sejarah Kota Anda?

“Manusia tanpa sejarah berarti ia gila. Kota tanpa sejarah berarti juga gila.”

Itulah ungkapan Eko Budihardjo, Guru besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro, Semarang di acara International Seminar “Urban Heritage” Tribute to Prof. Dr. Inajati Adrisijanti yang diselenggarakan oleh Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (30/03/2011). Eko menegaskan bahwa sebuah kota bisa menunjukkan sejarah dan kebudayaan tertentu dan itu dapat menjadi ‘icon’ bagi kota tersebut. Sayangnya, pembangunan baru menyebabkan hilangnya keberadaan sejarah dan kebudayaan tersebut. Widjaja Martokusumo, pengajar Arsitektur, Perencanaan dan Kebijakan Pembangunan Institut Teknologi Bandung, juga menyatakan bahwa telah terjadi konflik antara pembangunan baru dan lama di perkotaan. Ia juga menegaskan bahwa pelestarian bukan hanya pada bangunan, namun juga keseluruhan kawasan bersejarah.

Salah satu pembicara dari United Kingdom, Dora Parr, seorang kepala museum The Erewash di Ilkeston, Derbyshire tahun 2006-2009 bercerita soal lain. Sebagai orang yang mengelola museum, ia mengaku kesulitan untuk menarik orang datang ke museum. “Anda mengatakan kalau museum itu diperlukan. Tapi apakah Anda mau datang ke museum?” ujarnya. Setiap orang yang ia tanya begitu pasti menjawab tidak mau untuk mengunjungi museum. Oleh sebab itu, ia mencari jalan supaya orang mau datang ke museum ini.

Ia kemudian mengadakan pameran sinema tentang sejarah kegiatan orang-orang Stanton yang bekerja di pabrik besi serta peninggalan peralatan yang digunakan oleh para pekerja. Dan ini berhasil! Di situs http://www.erewashmuseum.co.uk/ diberitakan bahwa pameran ini berhasil memperoleh penghargaan sebagai ‘Best Exhibition’ dalam Renaissance Heritage Awards. Ketika saya tanya pada Dora tentang pembiayaan museum ia menjawab bahwa tak mudah memperoleh dana dari pemerintah. Oleh sebab itu ia berusaha dengan pengajuan proposal-proposal dana.

Acara kemudian berlanjut ke dalam diskusi yang dibagi menjadi empat kelompok. Saya termasuk di dalam kelompok B yang membahas isu ‘urban heritage’. Di sini terdapat 10 orang yang menceritakan nasib kawasan dan bangunan bersejarah yang ada di Indonesia. Vida Pervaya dari Pusat Arkeologi Banjarmasin Kalimantan Selatan, misalnya, menceritakan bahwa beberapa bangunan bersejarah kini telah dibongkar dan digantikan oleh bangunan baru. Menurutnya, kondisi ini  menyebabkan hilangnya identitas warga Banjarmasin.

Saya sendiri menjelaskan tentang adanya rencana pelebaran jalan di kawasan bersejarah Kota Tua Jakarta. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hasil penelitian saya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman tentang pelestarian kawasan bersejarah dan tidak adanya koordinasi antara dinas tata kota dan dinas kebudayaan dan permuseuman dalam merencana pelebaran jalan tersebut.

Sayangnya, acara hari itu tidak menampilkan sosok ekonom untuk memberikan pandangan lain soal pembangunan dan investasi. Karena di satu acara yang saya hadiri, ketika membahas tentang Kota Lama Semarang, seorang ekonom menyatakan ini, “Buat apa kita berinvestasi di tempat yang akan punah?” (*)

February 19, 2010

Nongkrong di Stasiun

Filed under: good city form — arniarnie @ 3:45 pm
Tags: , , , , , ,

Kalau saya ditanya apa moda transportasi favorit Anda? Langsung saya jawab: kereta. Moda ini bisa membawa saya dari tempat tinggal di Depok ke pusat perniagaan, Jalan Sudirman, dalam waktu setengah jam. Itu kalau naik kereta ekspres. Bisa lebih (kira-kira 30 menit) untuk kereta AC ekonomi. Bayangkan kalau harus naik bus atau mobil pribadi, 2 jam lebih bisa baru sampai. Semua ini di luar naik sepeda motor, yang menurut saya termasuk cepat tapi berisiko tinggi, kehujanan, misalnya.

Sayangnya, moda yang sudah oke ini (maksud saya dari segi kecepatan, dari segi keterlambatan belum termasuk) tidak dibarengi dengan ke-oke-an stasiun. Tengok saja stasiun Depok Baru. Stasiun ini menjadi tempat turun penumpang yang tidak sedikit. Biasanya sepenuh apa pun kereta, bila berhenti di Stasiun Depok Baru, penumpang kemudian akan menurun drastis. Lalu apa ketidak-oke-an stasiun ini?

Begini, saya ajak Anda sedikit berimajinasi. Begitu turun dari kereta arah Jakarta, Anda akan berdesakan dengan orang-orang. Lalu ada dua jalan keluar. Yang pertama di bagian tengah stasiun. Dari sini Anda akan berjalan di jalan yang becek (kalau hujan) dan berbatu. Sangat tidak nyaman namun cenderung sepi karena jarang orang lewat sini. Ini dikarenakan angkutan kota (angkot) tidak ‘ngetem’ di sisi ini. Dari jalan ini Anda harus berjalan bersaingan dengan angkot yang hendak keluar mengejar penumpang yang keluar dari pintu utama.

Pintu utama berada di ujung stasiun. Orang cenderung suka lewat sini karena jalannya masih dalam bagian stasiun, terlindung oleh atap, dan ini yang menarik, banyak penjual. Yang dijual macam-macam, dari voucher pulsa, minuman, buah (biasanya sedang musim dengan harga miring), sayuran, sandal jepit, hingga telur asin. Di sini orang-orang (tidak hanya ibu tapi juga bapak) memborong aneka kebutuhan rumah tangga. Iya, persis di jalur keluar para penumpang yang seabrek itu!

Jalur yang tadinya lebar (3 meter-an) alhasil tinggal 80 cm, karena sisanya sudah menjadi tempat berjualan. Kalau Anda ingin cepat-cepat jalan, tunggu dulu. Anda bisa kena marah orang lain. Karena sempit Anda harus berjalan pelan. Berhasil keluar dari jalur tersebut, hati-hati lagi karena Anda akan bertemu para pengendara becak dan ojek yang menawarkan modanya. Belum lagi angkot (dari jalur pintu keluar pertama tadi) jurusan Parung, Depok Dalam, Depok Kavling, atau Beji yang juga antre mencari penumpang. Wow! Sangat padat!

Polisi lalu lintas kerap terlihat namun seperti macan yang kehilangan gigi. Tak berkuasa dengan ketidakteraturan yang berada di sekitar stasiun itu. Jalur manusia, kendaraan roda dua, tiga, dan empat menyatu tanpa ada jalur khusus yang membatasinya. Padahal, akan lebih baik bila para penjual disediakan tempat khusus sehingga tidak ‘merebut’ jalur keluar/masuk penumpang kereta. Jalan di pintu keluar/masuk pertama (bagian tengah stasiun) tadi juga ditata dan diperbaiki, sehingga orang bisa keluar masuk dari beberapa pintu.

Saya percaya, bila stasiun dan area di sekitarnya ditata, tentu bisa menjadi satu tempat mencari nafkah bagi mereka yang membutuhkan. Fungsi stasiun pun tidak sekadar sebagai tempat berhenti kereta dan menaikkan/menurunkan penumpang. Tapi juga sebagai tempat bersosialisasi  dan jual-beli bagi warga setempat. Ya, setidaknya, tempat nongkrong atau berbelanja tidak selalu di mal ;).

December 3, 2009

Kecanduan Mal

Filed under: good city form — dayutiwi @ 8:37 am
Tags: , , ,

Ini menanggapi tulisannya arni di atas, Kota yang Mahal…

Di kota saya ada beberapa lapangan. Dekat rumah saya adasalah satu lapangan seperti ini. Di sore hari kadang-kadang saya mengajak anak saya kesana. Banyak ibu hamil, bapak-bapak, remaja, tua-muda yang jogging maupun sekedar berjalan-jalan disana. Anak-anak main layangan, belajar berjalan, naik sepeda, dan berlari-lari. Anjing-anjing ras dibawa berjalan-jalan oleh pemiliknya. Anak-anak remaja main skateboard di jalan sampingnya. Kelompok-kelompok yoga dan tai-chi berkumpul disini. Anak-anak SMA latihan baris-berbaris di lapangan parkirnya.  Jangan bayangkan lapangan ini seperti Central Park di New York, ya. Lapangan ini hanyalah lapangan luas dengan jogging track dan walking track yang tertata apik di sekelilingnya.Penjual-penjual makanan dan minuman bergerombol di sekelilingnya, memberi kesempatan pengunjung taman untuk makan, minum, dan sekedar bersenda gurau dengan teman-temannya.

Di kota saya juga ada beberapa mal. Tetapi sungguh berbeda dengan mal di ibukota. Mal yang ada di tengah kota kecil, sesak, dan tak nyaman. Mal yang ada di daerah turis pun tak terlalu ramai pengunjung. Di tengah udara yang luar biasa panas, bukan hanya sekali dua kali saya merindukan mal yang biasa saya datangi di ibukota. Mal tempat saya bisa bertemu teman-teman lama dengan ‘hanya’ membayar 100 ribu, tapi puas berteduh dari panasnya cuaca, puas duduk-duduk tanpa harus melakukan apa-apa, puas memandangi interiornya, pemandangan orang-orang yang sengaja berdandan untuk dilihat, dan memandangi barang-barang yang ditawarkan. Walaupun bukan berarti saya membeli sesuatu. Puas untuk sesaat merasakan sebuah dunia impian yang indah, yang jauh dari realita di luar sana, melarikan diri dari panasnya kota dan kerasnya debu jalanan. Dan ya, untuk itu semua saya rela merogoh kocek dan menabung, demi sebuah momen artifisial, daripada puas untuk seumur hidup dengan lapangan yang, walaupun menyehatkan, tapi tidak menjanjikan hal-hal yang ditawarkan mal.

Mal bukan lagi sekedar tempat jual beli barang, tetapi sebuah dunia tersendiri dimana di dalamnya kita bisa mempunyai status, prestise, yang mungkin berbeda dari wajah kita di luarnya. Sebut saya kecanduan, menghianati prinsip-prinsip arsitektur hijau, tapi mau apa lagi? Saya dibesarkan oleh mal. Bukan oleh lapangan-lapangan hijau dan sawah ladang yang menghampar (tapi panasnya luar biasa) . Saya suka kebebasan yang saya peroleh di mal. Tidak perlu menyapa siapapun, tetapi saya bebas berjalan-jalan, membeli atau tidak membeli sesuatu, duduk di cafe dan menulis di laptop, dan bebas menjadi siapapun. Tak ada yang protes. Tak perlu tersenyum sana-sini. Saya suka udara dinginnya yang dikontrol oleh penyejuk udara sentral.

Siapa yang harus disalahkan? Mungkin seharusnya ada keseimbangan dalam suatu kota. Ada Mal yang bagus, tetapi tak boleh melupakan taman dan lapangan hijau. Sehingga penduduk kota punya pilihan. Bagaimanapun, hidup adalah tentang pilihan, bukan?

November 16, 2009

Kota yang Mahal

Filed under: good city form — arniarnie @ 1:53 pm
Tags: ,

Katanya kota itu adalah tempat tinggal yang bisa meningkatkan kualitas hidup warganya. Tapi coba lihat kota saya, dia kini sedang ‘diguncang’ pemilik dana untuk dibangun sebanyak-banyaknya bangunan: ruko, mall, rumah, town house, toko, jalan.. tanpa ada ruang publik yang hijau, yang bisa disambangi kala penat melanda atau ingin bersenda gurau dengan teman.

Semua kebutuhan itu hanya bisa dipenuhi di pusat perbelanjaan.. ruang tertutup ber-AC dan dipenuhi gerai makanan dan kafe (yang tak murah). Jadi, sekarang kalau hanya mau bertemu teman lama harus menyediakan uang setidaknya Rp. 100.000,- (kalau mau tempatnya nyaman). Bukan jumlah yang sedikit bagi mereka yang masih jobseeker atau masih sekolah. Hanya untuk ketawa-ketiwi dan bercerita masa lalu pun harus mengeluarkan uang sebesar itu?

Coba bayangkan di tengah kota ini ada ruang hijau (semacam taman kota) yang disediakan lapangan olahraga, arena bermain, tempat-tempat duduk, dan ruang jajan. Mungkin hanya butuh uang Rp. 10.000,- untuk beli minuman dan makanan ringan. Kangen dengan teman terlunasi dan tempat nyaman pun terpenuhi. Tapi…apa mungkin ini terjadi?

Kalau kota yang seperti ini hanya ada di angan saja, sepertinya saya harus beranjak dari lamunan ini.

Dan menghadapi realitas: kota yang mahal..

 

 

July 10, 2008

Kota Hijau

Filed under: good city form — arniarnie @ 6:35 pm
Tags: , ,

Pemanasan global menjadi salah satu topik utama dunia yang tak henti dikampanyekan. Pembangunan di kota kemudian secara perlahan menuju pada tren “hijau”. Apa saja dikaitkan dengan adanya wilayah khusus untuk penghijauan. Tengok saja berbagai real estat berlomba menawarkan suasana sejuk dan segar. Atau berbagai perusahaan giat melakukan tanggungjawab sosial (Corporate Social Responsibility ) dan mengkompensasikan kegiatan ekonominya dengan penanaman pohon. Kita boleh saja skeptis dengan apa yang telah dilakukan para pengeruk keuntungan itu. Bahwa kegiatan tersebut dapat semata-mata hanya menjadi “kedok” untuk memperoleh simpati konsumen dan akhirnya mereka mendapat nama baik sebagai penyelamat lingkungan.

 

Terlepas dari itu semua, penyelamatan lingkungan memang harus segera dilakukan. Mengomentari tentang penghijauan, saya menemukan tugas kuliah ketika duduk di Program Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan. Judulnya yaitu “Kota Pohon” (Kompas , 30 Maret 2004). Penulis artikel tersebut adalah JJ Rizal, seorang kolomnis tetap sejarah "Batavia Tempo Doeloe" di Moesson Het Indisch Maanblad . Di artikel tersebut ia menceritakan bagaimana sejarah ditanamnya pohon asam sebagai jalur hijau dan kesadaran lingkungan masyarakat Betawi tempo dulu dalam mempertahankan hijau pekarangannya dengan pepohonan. Berikut ini petikan tulisannya:

 

“Pada masa lalu, orang Betawi sangat menyukai halamannya rumahnya dengan menanam pepohonan dan apotek hidup, seperti pohon saga, sirih, dan teleng yang berfungsi untuk menyembuhkan penyakit sariawan, mencret, wasir. Hingga pagar rumah pun tidak memakai pagar besi, melainkan pagar pohon rendah atau pagar bambu. Sehingga dapat dilihat kesadaran dalam memelihara lingkungannya tinggi. Berdasarkan dengan tradisi orang Betawi tersebut dan pentingnya pepohonan, maka Daendels memerintahkan untuk menanam pohon asam sebagai tanaman jalur hijau . Hal tersebut dipertimbangkan bahwa pohon asam memiliki akar pokok kayunya yang sangat kuat, daunnya tidak mudah rontok mengotori jalan dan berumur teramat panjang . Seabad setelah Daendels angkat kaki dari Batavia, jalan-jalan di kota Batavia dipenuhi dengan deretan pohon asam, seperti di Jalan Medan Merdeka, Jalan Veteran, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk. Namun, kenyataan kini yang ada pohon asam telah tinggal cerita, karena keberadaannya yang tidak banyak dipelihara dan ditebang untuk kebutuhan infrastruktur dan permukiman

 

Kekhawatiran Rizal terbukti. Saat ini apakah kita masih melihat pohon (bukan saja pohon asam) berdiri kokoh sebagai jalur hijau? Di Jalan Raya Margonda, Depok, misalnya. Jalur hijau hanya diganti dengan pot kembang yang berdaun kecil dan pastinya tidak mampu menyerap karbondioksida dari kendaraan yang jumlahnya tak sedikit. Jalur hijau di tepi jalan kini berubah menjadi tempat PKL atau sebagai lokasi papan reklame. Kondisi seperti ini seharusnya membuka pemikiran yang inovatif para perencana kota dan bangunan, bagaimana mengkompensasi kebutuhan lahan hijau tersebut.

 

Jadi yang bisa kita perbuat sebagai penghuni kota? Bila di rumah kita belum ada pohon, mulailah menanam satu atau dua batang pohon setiap bulan. Dengan begitu, disamping menghijaukan lingkungan, kita pun bisa melestarikan budaya lokal (baca: Betawi) dalam hal menanam pohon, seperti yang diceritakan oleh Rizal. Terdengar mudah ya, hanya menanam pohon. Tapi kalau semua orang menyadari pentingnya penghijauan (termasuk pemerintah kota), maka lahan untuk ruang hijau kota layak dipertanyakan. Apakah sudah sesuai dengan UU Penataan Ruang No 26 Tahun 2007?

 

Bila kita merasa belum bisa berbuat banyak buat lingkungan kota. Mulailah dari rumah sendiri. Hijaukan taman kita (semungil apapun itu) dan nikmati kesejukan yang tidak perlu dibayar mahal! (nie)

       

           

July 9, 2008

Pilgub Bali : Pastika Menang

Filed under: good city form — dayutiwi @ 7:30 pm

Metrotvnews.com, Jakarta: Pasangan I Made Mangku Pastika-Anak Agung Puspayoga menangkan Pilkada Bali dipastikan memenangkan Pilkada Bali yang berlangsung hari ini Rabu (9/7). Pasangan yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menang Pilkada versi quick count atau perhitungan cepat suara Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Dari 90,75 persen TPS yang masuk dengan 76,77 persen tingkat partisipasi pemilih, pasangan Pastika-Puspayoga memperoleh 54,66 persen suara. Pasangan Gede Winasa-Alit Putra memperoleh 19,08 persen suara. Sementara pasangan Cok Budi Suryawan Nyoman Gede Suweta meraup 25,81 persen suara.

pastika

Wah, mudah-mudahan selain masalah keamanan Pak Mangku Pastika juga memperhatikan masalah tata ruang di Bali, seperti kampanye-kampanye sebelumnya.

atau mungkin akan ada tata ruang berstandar keamanan internasional di Bali 😉

kita lihat saja nanti…

Selamat sore Jakarta!

Filed under: good city form — arniarnie @ 6:19 pm
Tags: , ,

Jalan-jalan sore melintasi Sudirman yang ramai, asyik juga! Meskipun mesti hati-hati berjalan agar tidak tersenggol para pejalan kaki lainnya. Mereka terlihat begitu terburu-buru. Mungkin takut tertinggal bus kota atau trans jakarta yang saat ini terlihat makin jarang (kenapa ya?)

Meski tersengat sinar matahari sore, tapi tetap saja Jalan Sudirman memiliki pemandangan kota yang unik. Apalagi kalau bukan ciri gedung tinggi dengan berbagai gaya arsitektur, pepohonan yang masih bertahan (syukurlah), serta kemacetan (!)

Dan sore tetaplah sore. Selalu menyajikan kesejukan tersendiri. Waktunya beristirahat dari pekerjaan untuk kembali ke rumah dan bertemu keluarga.

Selamat sore Jakarta!

May 10, 2008

daftar pustaka good city form

Filed under: good city form — dayutiwi @ 2:55 pm
Tags: , ,

Daftar Pustaka

Danes, Popo, Arsitektur Bali, Dari Kosmik ke Modern, dalam Bali dalam Dua Dunia, Matamerabook, Bali : 2002

Lynch, Kevin, Good City Form, Massachusetts Institute of Technology, Massachusetts : 2000

www.denpasar.go.id

www.badung.go.id

www.bali.go.id

foto dan peta diambil dari www.denpasar.go.id

www.bali.go.id

dan Rama Surya dalam buku Bali dalam Dua Dunia

tabel kesimpulan good city form

Filed under: good city form — dayutiwi @ 2:54 pm
Tags:

Selanjutnya, dalam tabel di bawah ini Kevin Lynch menyebutkan tentang beberapa variasi hipotetis dalam pencapaian dan evaluasi kelima dimensi tersebut, dalam hubungannya dengan variasi dalam situasi sosial.

Keadaan Masyarakat

Vitalitas

(Vitality)

Kepekaan

(Sense)

Kelayakan

(Fit)

Akses

(Access)

Kontrol

(Control)

Kaya Penting bagi keduanya Secara umum lebih dihargai Lebih gampang untuk dicapai tapi lebih kompleks; kelayakan di masa depan bukan hal yang kritis Ada alternatif;keragaman dihargai Penting bagi keduanya
Miskin Lebih kritis dimana pendapatan rendah Arti simbolik tetap dihargai walaupun miskin Lebih sederhana tapi sangat kritis Penting, terutama akses menuju sumber daya dasar
Homogen Penting bagi keduanya Lebih gampang dicapai Lebih gampang dicapai Tidak begitu penting? Tidak begitu penting?
Heterogen Lebih sulit, tapi lebih kaya Lebih kompleks Penting, untuk menghindari pengasingan Penting
Stabil Lebih mudah diwujudkan Lebih mudah dicapai Lebih mudah dicapai Tidak begitu penting Tidak begitu penting
Tidak stabil Lebih sulit pemeliharaannya Lebih sulit Kelayakan saat ini lebih sulit pemeliharaannya,; kelayakan di masa depan penting untuk daya tahan Pentinguntuk daya tahan penting
Terpusat (centralized) Lebih mudah diwujudkan melalui standar dan pengetahuan teknis Digunakan untuk mengekspresikan dan mendukung pendominasian Lebih kecil kemungkinan untuk dicapai; adaptabilitas formal dihargai Memerlukan kontrol Kontrol lokal ditekan
Tidak terpusat (decentralized) Lebih sulit dicapai kecuali melalui kebiasaan yang stabil dan pengetahuan yang meluas Mengekspresikan keberagaman Lebih besar kemungkinan untuk dicapai; manipulability dihargai Tidak begitu kritis Kontrol lokal lebih disukai

Kesimpulan :

Masyarakat kota Denpasar termasuk relatif kaya, sehingga mementingkan vitalitas, sense, kelayakan, akses, dan kontrol. Ia juga termasuk masyarakat yang relatif homogen, stabil dan tidak terpusat (decentralized).

Sifat-sifat masyarakat seperti itu membuat ada kriteria performa yang lebih menonjol dibanding dengan yang lain. Dalam pengamatan saya, kriteria yang paling menonjol di kota ini adalah sense dan fit.

meta kriteria : efisiensi (eficciency) & keadilan (justice)

Filed under: good city form — dayutiwi @ 2:49 pm
Tags: , , , ,

Meta Kriteria

Selain kelima krietria di atas, Lynch juga menambahkan dua kriteria, yang disebutnya sebagai meta kriteria. Kedua kriteria ini saling bertumpukan (overlaped) dengan kelima kriteria di atas. Artinya, masing-masing dari kelima kriteria di atas harus dapat memenuhi meta kriteria ini. Adapun meta kriteria tersebut adalah :

Efisiensi (Efficiency)

Biaya, dalam bentuk benda-benda lain yang dinilai berharga, menciptakan dan memelihara permukiman, untuk tingkat kemampuan menciptakan lingkungan dengan kualitas seperti disebutkan di atas.

Keadilan (Justice)

Cara dimana biaya dan keuntungan lingkungan menyebar di antara orang-orang, berdasarkan pada prinsip-prinsip tertentu seperti ekuitas, kebutuhan, nilai intrinsik, kemampuan membayar, usaha yang dikeluarkan, kontribusi potensial, atau kekuatan. Keadilan adalah kriteria yang menyeimbangkan keuntungan yang diterima masing-masing orang, sementara efisiensi menyeimbangkan keuntungan antara nilai-nilai yang berbeda.

Meta kriteria tersebut berbeda dari lima kriteria sebelumnya. Pertama, mereka tidak ada artinya sampai biaya dan keuntungan telah didefinisikan dengan menyebutkan nilai-nilai dasar yang penting. Kedua, meta kriteria tersebut terlibat dalam masing-masing dimensi dasar, sehingga mereka independen dari dimensi-dimensi tersebut. Dalam setiap kasus, kita bertanya : (1) Berapa biaya (dalam bentuk apapun yang dianggap berharga) untuk mencapai tingkat vitality, sense, fit, akses, dan kontrol? dan (2) Berapa banyak bagian yang diterima oleh masing-masing orang?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terdapat beberapa alat yang telah disederhanakan untuk mengukur keadilan, yaitu :

1. Memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan paling dasar

2. Memfokuskan pada peraturan ekuiti tentang barang yang kelihatannya menjadi kunci untuk memiliki barang lain

3. Memfokuskan pada kelompok yang paling buruk keadaannya, dan bersikeras bahwa setiap perubahan yang harus setidak-tidaknya meningkatkan keadaan kelompok tersebut.

Aturan distribusi harus kelihatan adil, karena keadilan terletak pada pikiran. Aturan-aturan harus dibuat sejelas mungkin sehingga dapat dimengerti oleh semua orang; stabil, dapat ditebak, dan berkesinambungan dengan pengalaman sekarang dan di masa lalu.

Kesimpulan Efisiensi dan Keadilan untuk kota Denpasar :

Melihat sarana dan prasarana dasar telah cukup dipenuhi, menurut saya efisiensi dan keadilan di kota ini sudah cukup baik.

Next Page »

Create a free website or blog at WordPress.com.