“Manusia tanpa sejarah berarti ia gila. Kota tanpa sejarah berarti juga gila.”
Itulah ungkapan Eko Budihardjo, Guru besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro, Semarang di acara International Seminar “Urban Heritage” Tribute to Prof. Dr. Inajati Adrisijanti yang diselenggarakan oleh Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (30/03/2011). Eko menegaskan bahwa sebuah kota bisa menunjukkan sejarah dan kebudayaan tertentu dan itu dapat menjadi ‘icon’ bagi kota tersebut. Sayangnya, pembangunan baru menyebabkan hilangnya keberadaan sejarah dan kebudayaan tersebut. Widjaja Martokusumo, pengajar Arsitektur, Perencanaan dan Kebijakan Pembangunan Institut Teknologi Bandung, juga menyatakan bahwa telah terjadi konflik antara pembangunan baru dan lama di perkotaan. Ia juga menegaskan bahwa pelestarian bukan hanya pada bangunan, namun juga keseluruhan kawasan bersejarah.
Salah satu pembicara dari United Kingdom, Dora Parr, seorang kepala museum The Erewash di Ilkeston, Derbyshire tahun 2006-2009 bercerita soal lain. Sebagai orang yang mengelola museum, ia mengaku kesulitan untuk menarik orang datang ke museum. “Anda mengatakan kalau museum itu diperlukan. Tapi apakah Anda mau datang ke museum?” ujarnya. Setiap orang yang ia tanya begitu pasti menjawab tidak mau untuk mengunjungi museum. Oleh sebab itu, ia mencari jalan supaya orang mau datang ke museum ini.
Ia kemudian mengadakan pameran sinema tentang sejarah kegiatan orang-orang Stanton yang bekerja di pabrik besi serta peninggalan peralatan yang digunakan oleh para pekerja. Dan ini berhasil! Di situs http://www.erewashmuseum.co.uk/ diberitakan bahwa pameran ini berhasil memperoleh penghargaan sebagai ‘Best Exhibition’ dalam Renaissance Heritage Awards. Ketika saya tanya pada Dora tentang pembiayaan museum ia menjawab bahwa tak mudah memperoleh dana dari pemerintah. Oleh sebab itu ia berusaha dengan pengajuan proposal-proposal dana.
Acara kemudian berlanjut ke dalam diskusi yang dibagi menjadi empat kelompok. Saya termasuk di dalam kelompok B yang membahas isu ‘urban heritage’. Di sini terdapat 10 orang yang menceritakan nasib kawasan dan bangunan bersejarah yang ada di Indonesia. Vida Pervaya dari Pusat Arkeologi Banjarmasin Kalimantan Selatan, misalnya, menceritakan bahwa beberapa bangunan bersejarah kini telah dibongkar dan digantikan oleh bangunan baru. Menurutnya, kondisi ini menyebabkan hilangnya identitas warga Banjarmasin.
Saya sendiri menjelaskan tentang adanya rencana pelebaran jalan di kawasan bersejarah Kota Tua Jakarta. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hasil penelitian saya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman tentang pelestarian kawasan bersejarah dan tidak adanya koordinasi antara dinas tata kota dan dinas kebudayaan dan permuseuman dalam merencana pelebaran jalan tersebut.
Sayangnya, acara hari itu tidak menampilkan sosok ekonom untuk memberikan pandangan lain soal pembangunan dan investasi. Karena di satu acara yang saya hadiri, ketika membahas tentang Kota Lama Semarang, seorang ekonom menyatakan ini, “Buat apa kita berinvestasi di tempat yang akan punah?” (*)