my city identity

February 19, 2010

Nongkrong di Stasiun

Filed under: good city form — arniarnie @ 3:45 pm
Tags: , , , , , ,

Kalau saya ditanya apa moda transportasi favorit Anda? Langsung saya jawab: kereta. Moda ini bisa membawa saya dari tempat tinggal di Depok ke pusat perniagaan, Jalan Sudirman, dalam waktu setengah jam. Itu kalau naik kereta ekspres. Bisa lebih (kira-kira 30 menit) untuk kereta AC ekonomi. Bayangkan kalau harus naik bus atau mobil pribadi, 2 jam lebih bisa baru sampai. Semua ini di luar naik sepeda motor, yang menurut saya termasuk cepat tapi berisiko tinggi, kehujanan, misalnya.

Sayangnya, moda yang sudah oke ini (maksud saya dari segi kecepatan, dari segi keterlambatan belum termasuk) tidak dibarengi dengan ke-oke-an stasiun. Tengok saja stasiun Depok Baru. Stasiun ini menjadi tempat turun penumpang yang tidak sedikit. Biasanya sepenuh apa pun kereta, bila berhenti di Stasiun Depok Baru, penumpang kemudian akan menurun drastis. Lalu apa ketidak-oke-an stasiun ini?

Begini, saya ajak Anda sedikit berimajinasi. Begitu turun dari kereta arah Jakarta, Anda akan berdesakan dengan orang-orang. Lalu ada dua jalan keluar. Yang pertama di bagian tengah stasiun. Dari sini Anda akan berjalan di jalan yang becek (kalau hujan) dan berbatu. Sangat tidak nyaman namun cenderung sepi karena jarang orang lewat sini. Ini dikarenakan angkutan kota (angkot) tidak ‘ngetem’ di sisi ini. Dari jalan ini Anda harus berjalan bersaingan dengan angkot yang hendak keluar mengejar penumpang yang keluar dari pintu utama.

Pintu utama berada di ujung stasiun. Orang cenderung suka lewat sini karena jalannya masih dalam bagian stasiun, terlindung oleh atap, dan ini yang menarik, banyak penjual. Yang dijual macam-macam, dari voucher pulsa, minuman, buah (biasanya sedang musim dengan harga miring), sayuran, sandal jepit, hingga telur asin. Di sini orang-orang (tidak hanya ibu tapi juga bapak) memborong aneka kebutuhan rumah tangga. Iya, persis di jalur keluar para penumpang yang seabrek itu!

Jalur yang tadinya lebar (3 meter-an) alhasil tinggal 80 cm, karena sisanya sudah menjadi tempat berjualan. Kalau Anda ingin cepat-cepat jalan, tunggu dulu. Anda bisa kena marah orang lain. Karena sempit Anda harus berjalan pelan. Berhasil keluar dari jalur tersebut, hati-hati lagi karena Anda akan bertemu para pengendara becak dan ojek yang menawarkan modanya. Belum lagi angkot (dari jalur pintu keluar pertama tadi) jurusan Parung, Depok Dalam, Depok Kavling, atau Beji yang juga antre mencari penumpang. Wow! Sangat padat!

Polisi lalu lintas kerap terlihat namun seperti macan yang kehilangan gigi. Tak berkuasa dengan ketidakteraturan yang berada di sekitar stasiun itu. Jalur manusia, kendaraan roda dua, tiga, dan empat menyatu tanpa ada jalur khusus yang membatasinya. Padahal, akan lebih baik bila para penjual disediakan tempat khusus sehingga tidak ‘merebut’ jalur keluar/masuk penumpang kereta. Jalan di pintu keluar/masuk pertama (bagian tengah stasiun) tadi juga ditata dan diperbaiki, sehingga orang bisa keluar masuk dari beberapa pintu.

Saya percaya, bila stasiun dan area di sekitarnya ditata, tentu bisa menjadi satu tempat mencari nafkah bagi mereka yang membutuhkan. Fungsi stasiun pun tidak sekadar sebagai tempat berhenti kereta dan menaikkan/menurunkan penumpang. Tapi juga sebagai tempat bersosialisasi  dan jual-beli bagi warga setempat. Ya, setidaknya, tempat nongkrong atau berbelanja tidak selalu di mal ;).

Blog at WordPress.com.